Menyoroti Kedudukan Pemantau Pemilu dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Nomor 7 Tahun 2017

Seperti Bola: akan ditendang oleh KPU atau Bawaslu.!!!

Nusantaraterkini.com – Cukup menarik dalam Pemilu 2019, disamping kita semua ikut merasakan, menyaksikan, dan ikut terlibat dalam menyukseskan. Juga mencatat beberapa hal yang dapat dianggap sebagai sebuah prestasi dalam sejarah kehidupan berdemokrasi bagi Bangsa Indonesia, salah satunya keterlibatan Pemantau Pemilu terbanyak dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia.

Seperti apa yang diungkapkan oleh anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin dalam media Tempo , setidaknya terdapat 138 lembaga pemantau Pemilu yang mengawasi proses pemungutan suara pada hari Rabu tanggal 17 April 2019. Menurut Afifuddin jumlah lembaga pemantau di Pemilu 2019 adalah yang terbanyak dalam sejarah Indonesia.

Selaian diakui dalam undang-undang, keberadaan Pemantau Pemilu sendiri adalah cerminan kehendak masyarakat agar pemilu dapat berjalan dengan baik, tidak hanya sebagai pemilih (Pemegang Kedaulatan), masyarakat dapat turut serta secara aktif dan berkontribusi langsung sebagai Pemantau Pemilu.

Bila kita cermati kembali, dalam kedua UU ini pada ketentuan Umum yang biasanya BAB Pengertian, ternyata dikedua undang-undang ini tidak menjabarkan pengertian dari Pemantau Pemilu secara rinci. Namun pengertian Pemantau Pemilu dapat kita lihat dan temukan dalam Ketentuan umum Perbawaslu 4 Tahun 2018 tentang Pemantau Pemilu dimana disebutkan Pemantau Pemilu adalah lembaga swadaya masyarakat, badan hukum, lembaga pemantau dari luar negeri, lembaga pemilihan luar negeri, dan perwakilan negara sahabat di Indonesia, serta perseorangan yang mendaftar kepada Bawaslu dan telah memperoleh akreditasi dari Bawaslu.

Dari pengertian ini Pemantau Pemilu bisa berasal dari masyarakat baik secara kelembagaan/ Organisasi maupun perseorangan. Tentu dengan standar-standar berdasarkan aturan.Menuju Pilkada 2020 perlu kita pahami bersama, selain kewajiban bersama adanya aturan (Dasar Hukum) sebagai dasar semua pihak dalam mengambil kebijakan maupun keputusan.

Hal ini juga terkait tugas, wewenang, dan kewajiban yang akan berkonsekuensi hukum. Maka bila kita melihat kembali persoalan pilkada yang akan kita hadapi bersama kedepanya, tidak hanya persoalan hukum bagi penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) dan Partisipasi masyarakat, namun juga terkait Pemantau Pemilu. Kedudukan hukum pemantau pemilu juga menjadi hal penting untuk menjadi renungan dan bahasan bersama saat ini.

Perbedaan isi nomenklatur pada kedua undang-undang ini, tidak hanya akan berimplikasi langsung pada kerja-kerja kelembagaan penyelenggara pemilu baik soal tugas, wewenang, dan kewajiban. Namun juga telah menempatkan pemantau Pemilu seperti bola, yang kemarin ditendang oleh KPU, kemudian ditendang ke Bawaslu, dan Besok.!!! Siapa yang akan memainkan.

Maka menarik perlu kita pahami, setidaknya ada beberapa ketentuan dalam kedua undang-undang ini menarik untuk kita renungkan, diskusikan, dan wancanakan kedepan. Hal ini tidak hanya menjaga substansi demokrasi itu sendiri, namun lebih penting agar semua dapat berpandangan maju kedepan. Tidak kembali kemasa lalu yang seharusnya sudah menjadi spion bersama dalam menatap masa depan kedhipan berdemokrasi di Indonesia.

Beberapa poin yang dapat menjadi perhatian bersama dalam kedua undang-undang tersebut diantaranya :

1. Terkait Persyaratan. Dalam Undang-undang Nomor 10/2016 menyebutkan pemantau pemilu harus terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya. Mengingat UU ini mengatur terkait pemilihan kepala daerah, maka sebelumnya memberi kewenangan bagi KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dalam memberikan akreditasi bagi Pemantau Pemilu. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan Pemantau Pemilu harus terakreditasi dan memperoleh izin dari Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya. Menarik disini, bicara cakupan provinsi maupun kabupate/kota Bawaslu Provinsi maupun Bawaslu Kabupaten/Kota memiliki peranan dalam memberikan akreditasi bagi Pemantau Pemilu.

2. Terkait Lembaga pemantau Pemilihan asing, dalam Undang-undang Nomor 10/2016 pada Pasal 123 ayat (2) huruf b disebutkan Lembaga pemantau Pemilihan asing wajib melapor dan mendaftar ke KPU atas rekomendasi Kementerian Luar Negeri. Sedangkan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 hanya menyebutkan harus mendapatkan rekomendasi Menteri Luar Negeri.

3. Dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2016, Lembaga pemantau Pemilihan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauannya kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pelantikan pasangan Calon terpilih. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 pemantau pemilu mempunyai kewajiban melaporkan hasil akhir pemantauan pelaksanaan Pemilu kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota.

4. Terkait kewenangan yang mengeluarkan aturan Kode Etik Pemantau Pemilu, dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 disebutkan KPU menerbitkan aturan terkait Kode Etik Pemantau Pemilu, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 memberi kewenangan pada Bawaslu untuk menerbitkan aturan terkait Kode Etik Pemantau Pemilu.

5. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan pemantau pemilu memiliki kewajiban membantu Pemilih dalam merumuskan pengaduan yang akan disampaikan kepada pengawas Pemilihan. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tidak ada. Mungkin dikarenakan Pemantau Pemilu sudah bersama Bawaslu dalam menjalankan hak dan kewajiban berdasarkan aturan.

6. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, disebutkan pemantau Pemilihan asing dilarang mencampuri dengan cara apapun urusan politik dan Pemerintahan dalam negeri Indonesia. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 larangan ini berlaku untuk semua pemantau pemilu, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

7. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tidak mengatur Bab Tersendiri terkait saksi bagi pemantau pemilu, hanya mengatur beberapa saksi bagi pemantau pemilu yang melanggar kewajiban dan larangan yang terdapat dalam Pasal 129. Sedangkan didalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait hal tersebut sudah diatur tersendiri dalam Bagian Ketujuh terkait Saksi Bagi Pemantau Pemilu. Seperti dalam Pasal 443 disebutkan Pemantau Pemilu yang melanggar kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 441 dan Pasal 442 dicabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu oleh Bawaslu, juga diatur dalam Pasal 444.

8. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 belum mengattur secara rinci terkait wilayah kerja pemantau pemilu, mengingat pilkada 2020 akan dilakukan secara serentak pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wali kota.

9. Terkait kelengkapan administrasi yang harus disiapkan, dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 selain profil organisasi/lembaga sebagai syarat administrasi. Kelengkapan seperti Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemerintah atau pemerintah daerah, atau memiliki pengesahan badan hukum yayasan atau badan hukum perkumpulan. Sedangkan dalam uu yang lama belum diatur.

Mungkin selain beberapa poin yang coba penulis jabarkan diatas, dalam kedua undang-undang tersebut masih banyak hal yang kontradiktif dan tidak relevan khususnya terkait Pemantau Pemilu. Maka besar harapan juga mendorong kita semua dalam melihat persoalan Pilkada 2020 tidak hanya soal heporia semata. Terkait apa, siapa, dan mengapa kita memilih.

Namun terkait hal-hal yang mendasar, keberadaan payung hukum bagi semua pihak dalam mengambil kebijakan dan keputusan, persoalan tugas, wewenang, dan kewajiabn demi menyukseskan pilkada 2020. Penting bersama untuk kita kawal, dan pikirkan secara kritis agar demokrasi tidak seperi api membakar kayu,,, yang hanya meninggalkan abu dalam perapian.

Penulis adalah Masyarakat Pinggiran Kota Bengkulu.
Awang Konaevi

Rekomendasi
Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

You cannot copy content of this page