Sepenggal Kisah Harimau Penjaga Desa Di pedalaman Bengkulu

NusantaraTerkini.Com, – Desa Sekalak Kecamatan Seluma Utara, salah satu desa di Provinsi Bengkulu, tertinggal. Dari Kota Bengkulu sekira 30 kilometer (km), ditempuh dengan perjalanan darat. Tidak kurang dari tiga jam, lamanya.

Untuk tiba di desa yang didiami 215 kepala keluarga (KK) tersebut. Musti melewati jalan salah satu perusahaan tambang batubara, ”emas hitam”. Tepatnya, di pertigaan Desa Lunjuk Kecamatan Seluma Barat.

Di desa terakhir ini perjalanan memakan waktu sekira satu jam untuk tiba di simpang desa yang dihuni 753 jiwa itu atau setara 13,5 km. Jalannya, koral bercampur bebatuan besar. Sesekali menanjak, cukup terjal. Kemiringannya, nyaris 60 derajat. Sesekali melintas kendaaan perusahaan bertonase besar. Debu jalanan, menggumpal.

Desa itu berada diantara perbukitan, lembah. Hutan produksi terbatas (HPT) bukit badas dan hutan lindung. Dari simpang jalan perusahaan ”emas hitam” berjarak sekira 1,5 km, untuk tiba di pusat desa yang mayoritas pekebun kopi dan petani sawah.

Tanah kuning bercampur batu koral, jalannya. Ketika hujan sulit ditempuh dengan kendaraan. Ditambah tanjakan dengan kemiringan sekira 45 hingga 60 derajat. Sehingga membutuhkan kendaraan, modifikasi. Roda dua khususnya.

Setelah perjalanan sekira 3 jam yang membuat perut ‘diayun-ayun’ gelombang jalan. Maka akan tiba di desa yang dipimpin Sudarmono, kepala desa (Kades) Sekalak. Desa dengan luas sekira 139 hektare (Ha) ini masih tertinggal. Tidak ada aliran listrik, rumah jauh dari mewah.

Konon, desa ini dijaga sosok manusia jelmaan harimau. Dipercaya masyarakat sebagai nenek moyang. Puyang Tingkis, namanya.

”Kami masih menggunakan tenaga surya. Nyalanya saat malam,” kata Sudarmono, Kades Sekalak.

Malam itu cuaca cerah menyelimuti Desa Sekalak, sejuk. Satu per satu masyarakat berdatangan di rumah kades, Sudarmono. Kedatangan mereka untuk menyerahkan persyaratan pemasangan jaringan aliran listrik.

Tidak kurang dari sepuluh orang duduk secara melingkar, menggunakan kursi platik. Ada juga duduk di kursi panjang. Mereka berbincang menggunakan bahasa daerah, melayu. Sesekali menuangkan air kopi dan teh dari teko ke dalam gelas yang disiapkan, istri Sudarmono.

Tak lama berselang, sosok pria uzur tiba di rumah perangkat desa ini. Bawaannya santai. Mengenakan kain dan duduk di kursi kayu. Dia masih terlihat gagah. Safri, namanya. Anggota badan musyawarah adat (BMA), Desa Sekalak.

Rambutnya memutih. Pria ini salah satu orang tertua di desa yang dipimpin, Sudarmono. Dia hanya bisa menggunakan bahasa daerah. Safri mengetahui cerita puyang tingkis, nenek moyang warga yang didiami 253 kepala keluarga (KK) ini.

Nama tingkis diambil dari ibu jari kaki yang hilang. Ibu jari sebelah kiri bagian belakang, persisnya. Sehingga nama itu melekat pada puyang tingkis. Konon, puyang baju lantung tinggal bersama istri-nya di desa ini.

Beberapa tahun menjalankan batera rumah tangga. Pasangan suami istri (Pasutri) ini belum di karuniai buah hati. Sehingga puyang tingkis, bernazar. Memandikan anaknya dengan mata ikan putih sebanyak satu guci, nazarnya.

Saat bernazar dirinya tidak mengetahui, sang istri sedang hamil. Nazar pun harus dibayar. Usai istrinya melahirkan. Dia mulai mencari ikan putih dari muara aliran sungai sekalak hingga sungai ulu tulung, bukit gasing.

Setiap hari puyang tingkis mencari ikan putih, endemik sungai Sekalak. Dia mencari ikan dengan alat tangkap tradisional, sekalak atau bubu yang terbuat dari bambu berbentuk bulat memanjang seperti guci.

Pencarian ikan itu guna mengambil mata ikan putih. Untuk memandikan anaknya. Namun, pengumpulan mata ikan itu tidak sampai satu guci. Belum terkumpul satu guci, mata ikan sudah membusuk.

Sehingga, puyang baju lantung membuang mata ikan dan memasang bubu kembali. Hari demi hari, bulan terus berganti. Begitu juga tahun. Mata ikan putih belum terkumpul. Pada suatu ketika, saat mencari ikan ibu jari kaki sebelah kiri putus. Konon, putus karena terhimpit batu.

”Ibu jarinya putus terhimpit batu saat mencari ikan putih di sungai. Makanya, namanya Tingkis,” cerita Safri, sembari mengingat cerita terdahulu.

Anaknya tumbuh dewasa. Puyang tingkis tak kunjung pulang ke rumah. Dia terus mencari ikan putih, untuk mengambil matanya hingga satu guci. Bertahun-tahun mencari ikan. Mata ikan itu tak terkumpul.

Tumbuh dewasa membuat anak, puyang tingkis bertanya. Keberadaan ayahnya, puyang tingkis. Istri puyang tingkis memberi tahu jika puyang tingkis ada di aliran sungai sekalak, mencari ikan.

Anak puyang tingkis, pulang ke rumah dan bercerita kepada ibunya. Jika ayahnya sudah menjelma menjadi harimau. Puyang tingkis tetap bertahan di sekitar sungai sekalak. Sebab, dia belum berhasil mengumpulkan satu guci mata ikan putih, sesuai dengan niatnya.

Anaknya pun bergegas mencari keberadaan ayahnya. Anaknya menemukan sosok ayah yang sudah menjelma menjadi seekor harimau. Berada di pondok. Terbuat dari batu berbentuk lobang berukuran sekira 5 meter, tepian sungai sekalak.

Pondok itu masih kokoh. Tetap utuh. Ada tiang di bagian depan. Pondok itu terbuat dari batu sungai berukuran besar. Ada pintu masuk di bagian belakang. Sisi kiri dan kanan. Pondok itu berbatasan langsung dengan aliran sungai. Di dalam lobang berukuran besar terdapat batal.

Di dekat pintu masuk bagian belakang, tempatnya. Di depan pondok batu itu ada kolam. Konon, kolam dari air aliran sungai seklak itu menjadi tempat mandi puyang tingkis. Diameter kolam itu berdimater cukup besar. Sekira 20 meter. Kedalaman, sekira 2 meter.

Konon, puyang tingkis sering mandi di aliran sungai yang berbentuk mirip kolam itu. Sisa-sisa jejak kakinya sering terlihat. Kehadiran ditandai jejak telapak kaki bagian belakang kurang satu, menempel di tanah. Hanya ada empat jari.

Puluhan tahun lalu, bulu-bulu harimau tertinggal di dalam pondok batu. Bulu-bulu harimau jarang terlihat, sekarang. Masyarakat percaya bulu harimau itu puyang tingkis. Ketika mampir ke pondok batu.

”Saat ketemu, Puyang tingkis sudah menjelma menjadi harimau,” ingat Safri, mengulas cerita yang dia ketahui soal puyang tingkis

Aliran Sungai Sekalak

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikan Putih Endemik Sungai Sekalak Riwayat Mu Kini…

Tidak hanya, pondok batu di tepi sungai, bukti leluhur punyang tingkis. Tradisi sedekah mencari ikan putih di sungai sekalak terus di gelar masyarakat desa yang mekar tahun 2003 ini. Itu peninggalan puyang tingkis.

Tujuannya, agar hasil tangkapan ikan putih melimpah. Sedekahnya, ikan putih di panggang sebelah. tiga linting rokok daun gambir, nasi segumpal. Alat tangkap yang digunakan tradisional, jala.

Namun, setelah masyarakat mendapatkan hasil tangkapan melimpah. Satu atau dua ekor mesti di buang ke bagian hutan di sekitar aliran sungai atau tepi sungai sebagai syaratnya. Tradisi itu dipercaya masyarakat.

”Kalau dapat ikan banyak, satu atau dua ekor ikan hasil tangkapan harus dibuang ke arah hutan atau tepi sungai,” sampai Safri (80), warga yang dituakan masyarakat Desa Sekalak.

Sumber : jelajahhutan.com

Rekomendasi
Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

You cannot copy content of this page