Sejumput Asa di Tanah Leluhur Raja Kaloy

ACEH TAMIANG – Sore itu langit di atas tanah Raja Kaloy (desa Kaloy) kecamatan Tamiang Hulu, kabupaten Aceh Tamiang terlihat jingga, gemericik aliran air sungai Blutan yang melewati celah bebatuan cadas sangat bening, tenang, tetapi terkadang beraroma amarah dan murka.

Lelaki paruh baya, bertubuh hitam legam dan tegap itu tak lain Aswad (55), terlihat senyum mana kala suasana alam hari itu sangat bersahabat dengannya di penghujung temaram. Sesekali misainya yang tebal itu menyentuh ubi kayu bakar yang dilahapnya.

Di bipak berukuran 2×3 meter, berdinding ranting rantingan dahan dan beratap daun sungsang (pandan hutan), itulah peraduan Aswad dan teman temannya selama berminggu minggu berada di belantara hutan, sebagai basecamp utama menuju Gunung Bukit Tiga Kilo, arah selatan kota Kualasimpang, kabupaten Aceh Tamiang.

Dari desa Kaloy, tempat Aswad bersenda gurau dengan keluarganya, butuh waktu satu hari satu malam perjalanan menyusuri alur alur bebatuan cadas dan besar dengan berjalan kaki, baru dapat menyentuh bibir Gunung Bukit Tiga Kilo.

Sebenarnya ada apa di Gunung Bukit Tiga Kilo?, tak banyak yang tahu potensi terkandung di perut gunung itu, hanya terlihat sunggingan keindahan heroik biru kehitaman mata memandang terpancar di deretan belantara bukit barisan.

Luput dari tatapan mata teknologi, padahal sebongkah harapan besar ada di perutnya, yang tidak terduga sama sekali. Ada komoditi pertambangan terselip di molek tubuhnya yang indah. Biji besi, bahan baku semen, emas dan dolomit.

Aswad tak membiarkan potensi di tanah tak bertuan itu, serta merta dia membawa teman temanya yang berasal dari jawa untuk melakukan survey dasar, atas kebenarannya. Teman teman Aswad memang sudah terbiasa hidup di belantara hutan dan sungai yang berprofesi sebagai pendulang emas.

Malam sudah semakin larut, udara dingin kian menyeruak menyusupi tubuh kekar mereka yang ada di dalam bipak itu. Sesekali lolongan panjang harimau akar (macan tutul) menemani tidur mereka.

Sekitar pukul lima subuh kru Aswad sudah terbangun, udara subuh itu sangat lembab merekap tulang rasanya, jika tak biasa pasti menggigil. “Kami harus melakukan perjalanan sekitar 12 jam menyusuri blukar berduri, serta alur alur bebatuan, insha Allah sore kami sudah sampai dilereng Gunung Bukit Tiga Kilo, untuk itu ya harus bangun cepat,” katanya mengisahkan.

Blukar demi blukar, lereng terjal hingga berjalan di dalam air selama kurang 2 jam mereka lalui. Kata Aswad, iklim memang tak bersahabat, hujan deras disertai angin kencang memaksa kru berteduh di bawah akar pohon kayu besar berdiameter kurang lebih 3,5 meter. “Hutan ini masih perawan belum terjamah sama sekali. Ada sekitar satu jam kami bertahan, lalu bergegas kembali menyusuri rimba belantara bukit barisan,” kisahnya.

Wajah wajah lelah mulai terlihat, “satu jam lagi kita sudah sampai dititik sonding pertama, mengawali observasi kita, kami hanya memburu titik emas, tidak yang lain. Kita buat tambang rakyat,” ujar Aswad.

Sekitar pukul 5:45 wib, mereka tiba di dinding gunung Bukit Tiga Kilo, tepatnya di sonding pertama, secepatnya mereka mendirikan bipak untuk segera melepaskan lelah sambil ngasoh. Baru keesokan harinya mereka melakukan aktifitasnya.

Malam di lokasi sonding pertama sudah mereka lalui, pagi sudah menyapa mereka dengan sembulan matahari dari bebalik pepohon yang lebat, sinarnya mulai membakar tubuh mereka. Tapi mereka terasa sejuk, sebab sugesty asa besar ada di depan mata.

“Arman, keluarkan terus mesin dan perkakas kerja, riq harus kita dirikan. Ini pengeboran pertama yang kita lakukan. Untuk mengetahui potensi dan kadar emasnya,” jelas Aswad.

Bergegas kru melakukan kegiatannya menurut fungsinya masing-masing. Menit, jam sudah mereka lalui, hingga 5 jam pertama pengeboran dengan kedalaman 30 meter sudah ditembus oleh matabor bergagang pipa galvanis berdiameter 10 centimeter, berbagai bebatuan, pasir dan lumpur dimuntahkan oleh perut bumi.

Belum juga menampak tanda-tanda adanya dulangan emas, mereka terhenti di kedalaman 45 meter. Baru keesokan harinya mereka lanjutkan lagi pengeborannya. Kedalaman sudah mencapai 60 meter. Tiba tiba Aswad memrintahkan berhenti mengebor.

Seketika Aswad berteriak kegirangan, “kita berhasil, kita berhasil,” katanya. Asa mereka tak sekedar isapan jempol belaka. Mereka menemukan apa yang mereka harapkan selama ini, muntahan perut bumi tanah leluhur Raja Kaloy mengeluarkan serpihan dan butiran emas 22 karat.

Berbulan bulan kru Aswad berada di belantara rentetan bukit barisan, bergumul dengan emas, meski hasilnya tak seberapa, tapi ada kepuasan batin di diri mereka.

“Cukuplah buat makan anak istri kita dirumah, harapan saya ini bisa menjadi tambang rakyat yang berteknologi dan berwawasan lingkungan,” ujarnya. Mungkinkah?, Wallahu’alam Bisawab. (Syawaluddin)

Rekomendasi
Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

You cannot copy content of this page