Pendidikan Politik Hanyalah Omong Kosong

Oleh :

Adora Reginald Natha 

(Ketua HMI Komisariat Hukum Cabang Bengkulu)

Seiring berlangsungnya pergantian abad, dari abad ke-19 menuju abad ke-20. Perubahan di bidang politik pun terjadi, yaitu munculnya politik liberalisasi dan politik etis. Hal ini membuka ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk berjuang mendapatkan kehidupan yang lebih baik melalui pendidikan. Proses industrialisasi dimulai pada patuh ketiga abad ke-19, juga mulai berkembang karena proses modernisasi akibat pelbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah kolonial. Sejak awal abad ke-20 tampil sejumlah warga pribumi terdidik-tercerahkan yang melakukan perlawanan terhadap dominasi kekuasaan belanda, yang telah berlangsung sejak 1602 hingga 1942, dengan strategi yang baru.
Sejak abad ke-17, 18, dan 19, perlawanan belanda dalam bentuk fisik dilakukan di sejumlah wilayah di Nusantara, seperti perang Goa di Sulawesi Selatan, perang Patimura di Maluku, perang di Diponogoro di Jawa, perang Banjar di Kalimantan, Perang Sisingamangaraja di Tanah Batak dan perang Aceh. Harus diakui, berbagai perlawanan fisik semacam itu menyulitkan kedudukan pemerintah kolonial. Namun, karena pengalaman dan peralatan perang belanda yang lebih baik, mereka bisa juga mengatasi perlawanan tersebut.
Memasuki abad ke-20, tampilah warga terdidik-tercerahkan untuk mengambil peran dalam perubahan strategi untuk melawan kekuasaan Belanda. Strategi mereka tidak lagi bertumpu pada kekuatan fisik, tetapi dengan dibentuk perlawanan yang menggunakan strategi otak-rasional atau kekuatan intelektual. Senjata perlawanan mereka bukan lagi kelewang, pedang, bambu runcing, atau keris lagi, melainkan berupa organisasi massa, ideologi, media massa, dan perunding-perundingan.
Senjata organisasi tidak dapat dilepaskan dengan ideologi. Ketika Boedi Oetomo dibentuk oleh anak-anak muda siswa Sekolah Pendidikan Doktor Hindia atau School tot Opleiding Van Indische Artsen ( STOVIA ), pegangan ideologis mereka adalah pendidikan kebudayaan, khususnya kebudayaan Jawa, sehingga bersifat etno-nasionalisme. Sampai dengan tahun 1920-an, menurut Prof. Sartono Kartodirjo, guru besar sejarah Indonesia, etno-nasionalisme rupanya tetap dominan.
Melihat romantisme sejarah Boedi Oetomo lahir sebagai sebuah orgnisasi massa yang memiliki ideologi jelas yang mampu untuk memberikan nutrisi-nutrisi pemikiran kepada sebagian masyarakat untuk melakukan perjuangan merdekanya bangsa Indonesia. Dan pada hari ini partai politiklah yang seharusnya memberikan nutrisi-nutrisi pemikiran kepada para masyarakat utuk sadar akan hak dan tanggungjawabnya dalam pencerminan sebagai warga negara Indonesia yang merupakan negara Demokrasi yaitu salah satunya sadar dalam partisipasi politik.
Tanggung jawab Partai Politik salah satunya melaksanakan pendidikan politik secara Internal kepada para anggota dan kader-kadernya serta kepada masyarakat secara luas. Hal ini tertera dalam Pasal 11 ayat (1) butir a yang berbunyi “partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan kemudian Pasal 13 butir a, d, dan e tentang kewajiban partai politik yang berbunyi “ a. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD NRI 1945, dan peraturan perundang-undangan, d. Menjunjung tinggi supermasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia, e. Melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya.
Tapi apakah pendidikan politik itu dilakukan oleh setiap partai politik saat ini? Moh. Mahfud MD dalam bukunya menjelaskan beberapa persoalan terkait dengan tidak efektifnya pendidikan politik yang berjalan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, antara lain sikap disintegratif daerah, yang mana mengingat kenyataan pluralitas agama dan etnik di Indonesia terjadi, para pemilih di daerah-daerah tertentu menjatuhkan pilihan secara hampir seratus persen kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan bermotifkan agama atau kesukuan. Kasusnya dalam pemilihan Presiden tahun 2004 banyak isu panas yang menyangkut persoalan tersebut, seperti isu pasangan calon yang dikelilingi oleh pemeluk agama tertentu atau isu tentang calon yang akan membuat kebijakan yang merugikan pemeluk agama tertentu.
Berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI ) pada akhir November 2014 di beberapa daerah di Indonesia masih bermasalah terkait tingginya tingkat golongan putih ( golput ) yaitu seeorang yang mempunyai hak untuk memberikan suaranya tetapi tidak datang ke tempat pemungutan suara dalam arti lain tidak menentukan pilihan atau tidak menggunakan hak pilihnya yang diakibatkan ketidakpuasan terhadap kinerja partai politik maupun figur yang ditawarkan. Selain itu, pelaksanaan partisipasi politik yang sehat masih terancam akan bahaya laten seperti penggunaan politik uang ( money politics ) dalam mempengaruhi proses pemilihan seseorang. Begitu pula, adanya dugaan permasalahan terkait proses mobilisasi massa didaerah-daerah terpencil yang masih terkendala akses informasi maupun netralitas proses pengawasan menunjukan minat masyarakat terhadap politik begitu rendah.
Praktek money politics dapat kita lihat pada fenomena misalnya, di beberapa komunitas desa kerap di jumpai beberapa warga dalam lingkup satu rt, rw, atau dusun membentuk panitia penyambutan caleg dan mengatur strategi kolektif untuk menghadapi masuknya caleg dalam kelembagaan sosial mereka. Dengan persetejuan warga mereka menwarkan lembaga dan memfasilitasi caleg untuk “bersilaturahmi” dengan warga. Terkadang kebutuhan dan harga telah disepakati sejak awal sebelum pertemuan. Di akhir pertemuan yang di sampaikan adalah penegasan terhadap warga dan yang di tunggu adalah jawaban langsung dari sang caleg berupa uang atau barang baik untuk sekedar membeli tikar, membeli fasilitas olahraga, pos kamling, mengecor jalan kampung sampai memperbaiki rumah ibadah.
Lahirnya politik kartel dan materialisme politik pun di sebabkan karena masing-masing partai politik tidak efektif menjalankan roda pendidikan politik terhadap kader-kadernya maupun masyarakat secara luas, maksudnya dalam pencalonan para gladiator-gladiator masing-masing partai politik tidak lagi melihat pada ideologi, nilai-nilai, visi-misi, platform, jargon, dan program kerja, melainkan segala aktifitas atau kegiatan politik yang dapat memberikan keuntungan material yang bisa didapatkan secara kepartaian maupun individu. Kompetisi pencalonan hanya terjadi antar calon yang keterpilihannya dalam pemilihan umum tidak di dasarkan pada kualitas personal calon atau menjual program partai politik dan ideologi partai politik, melainkan atas dasar uang dan berbagai turunannya serta jaringan sosial yang membuat calon popular di mata pemilih. Maka tak heran bila para calon terkhususnya pada pencalonan legislatif lebih didominasi pengusaha, artis, tokoh populis, dan kerabat elit politik.
Gladiator-gladiator partai politik yang berpindah-pindah arah partai politik terus memuncak, yang mana dibuktikan dengan fakta emipiris seperti Ruhut Sitompul Ruhut Sitompul yang lompat dari golkar ke demokrat, Fuad Bawazier yang lompat dari pan ke hanura pasca kekalahanya dalam muktamar pan yang kala itu bersaing ketat dengan Soetrisno Bachir, Akbar Faisal yang lompat dari golkar menuju hanura dan terakhir berlabuh dipartai nasdem. Terjadinya politisi pindah di berbagai partai saat ini baik dari golkar, demokrat, nasdem, hanura, ppp dan partai-partai lainnya menunjukkan lemahnya sistem perkaderan kepartaian di hampir semua partai politik. Lemahnya sistem perkaderan ini terjadi karena partai yang ada masih mengedepankan aktor golongan dari pada ketika ada kemenangan dalam sukses kepemimpinan sehingga terbentuk sebuah fraksi politik yang mengeras di dalamnya. LIPI melaporkan 60 persen responden survei yang di lakukan lembaga itu di 31 provinsi dengan 1.799 orang responden menyatakan kurang tertarik dan tidak tertarik sama sekali terhadap politik, hanya sekitar 37 persen responden survei itu yang menyatakan tertarik atau sangat tertarik terhadap masalah politik atau pemerintahan. LIPI mencatat bahwa pemilih tanpa ideologi partai pun menguat, yang mana pada 15-25 Mei 2011 memperlihatkan temuan fantastis, bahwa hanya 20 % pemilih yang memiliki party ID, angka tak siap memilih pada hari pencoblosan mencapai 54, 9 %, mereka ini tergolong masa mengambang ( floating mass ) dan kian menunjukan gejala deparpolisasi dan emoh partai politik
Hal di atas menunjukan tidak berjalannya pendidikan politik yang seharusnya dilakukan oleh partai politik. Dan pada hari ini sebuah kewajiban yang ditidak dilakukan pun tidak menimbulkan sanksi kepada partai politik tersebut. Kemana arah subtansi hukum sebenarnya ? dalam uu nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik tidak mengatur terkait sanksi kepada partai politik yang tidak menjalankan pendidikan politik tersebut. Dan lebih banyak partai pada hari ini pun tidak mencamtumkan pendidikan politik sebagai kewajibannya di dalam AD/ART masing-masing partai, dan pendidikan politik tersebut hanyalah menjadi omong kosong belaka saja. Hanya ada satu negeri yang disebut tanah airku, ia tumbuh lewat jerih payah, dan jerih payah itu adalah jerih payahku.

Rekomendasi
Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.