RUU-PKS Ditunda, Aliansi Satu Visi Sebut DPR RI Tak Sensitif

BENGKULU – Aliansi Satu Visi (ASV) untuk Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI).

ASV menyesalkan sikap DPR RI yang kembali menunda pembahasan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU–PKS) dengan alasan untuk mengurangi target legislasi dalam pelaksanaan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020.

Menurut ASV, sejak diajukan sebagai rancangan undang-undang pada 2017 dan masuk prolegnas pada 2018, penundaan pembahasan RUU-PKS ini sudah dilakukan berulang kali. Hal ini membuktikan bahwa DPR RI tidak bersungguh-sungguh berkomitmen untuk membahas RUU–PKS serta tidak sensitif melihat fakta tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia sebagai situasi darurat kekerasan seksual yang perlu penanganan hukum secara khusus.

Mengapa ASV memandang penting disegerakannya pembahasan dan pengesahan RUU PKS?

1. Jumlah perempuan dan remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia meningkat terus setiap tahunnya.

Berdasarkan data yang didokumentasikan oleh Komnas Perempuan selama 12 tahun (2007-2019), Dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan merekam kenaikan kasus kekerasan seksual hingga 792 persen atau hampir 8 kali lipat. Dalam Catahu Komnas perempuan 2020, terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2019.

Data terbaru tahun 2019 untuk kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas, tercatat 58% merupakan kekerasan seksual, yakni pencabulan (531kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus).

Sementara itu, persetubuhan sebanyak 176 kasus, dan sisanya percobaan pemerkosaan dan persetubuhan. Ini artinya dalam 4 jam setidaknya ada 1 perempuan mengalami kekerasan seksual.

Sedangkan berdasarkan data BPS pada 2018, tercatat jumlah kasus perkosaan mencapai 1.288 kasus, pencabulan tercatat 3.970 kasus dan kekerasan seksual tercatat 5.247 kasus.

Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2018 yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuandan Perlindungan Anak (KemenPPAP) menunjukkan bahwa 1dari 17anak laki-laki dan 1dari 11anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Anak tidak hanya menjadi korban, tapi juga pelaku kekerasan.

Pelaku kekerasan seksual baik kontak ataupun non kontak paling banyak dilaporkan adalah teman atau sebayanya (47%-73%) dan sekitar 12%-29% pacar menjadi pelaku kekerasan seksual.

Selama pandemi Covid-19, kekerasan seksual meningkat, hal ini didasarkan pada data LBHAPIK yang mencatat kenaikan sebesar 300% atau 3 kali lipat dari biasanya.

2. Organisasi-organisasi anggota ASV yang bekerja melakukan pendampingan psikologis, hukum dan layanan HKSR bagai korban kekerasan seksual mendokumentasikan dampak hukum, psikologis dan kesehatan seksual/reproduksi korban kekerasan seksual sebagai berikut:-

Data pendampingan hukum: kasus kekerasan seksual sangat sulit diproses secara hukum karena definisi kekerasan seksual dan unsur-unsur pidana dalam KUHP sangat terbatas sehingga tidak menjamin perlindungan bagi hak korban kekerasan seksual. Oleh karena itu, pelaporan kasus kekerasan seksual, banyak yang berhenti hanya sampai tingkat kepolisian.

Dalam catatan Komnas Perempuan, dari 13.611 sekitar 22% dari jumlah total kasus yang diterima Lembaga layanan diproses sampai tingkat pengadilan.

Konteks-konteks khusus dari latar belakang korban, seperti disabilitas, lokasi geografis, maupun ragam,kekerasan yang tidak memiliki payung hukum menyebabkan halangan-halangan tersebut semakin nyata.

Data dari Rifka Annisa mencatat ada 31 kasus kekerasan seksual yang dilanjutkan ke ranah hukum dari 41 kasus yang masuk sepanjang Januari hingga Juni2020.

Data pendampingan psikologis: kekerasan seksual berdampak pada Kesehatan mental korban, mulai diantaranya korban mengalami trauma yang mendalam karena dipersalahkan dan dianggap aib keluarga, korban mengisolasi diri, hingga banyak yang akhirnya menjadi depresi dan keinginan untuk melakukan tindakan bunuh diri.

Data Rifka Annisa pada Januari- Juni 2020 menyebutkan ada 189 kasus kekerasan terhadap perempuan yang didampingi. Dari kasus tersebut, terdapat 41 kasus kekerasan seksual yang terdiri dari 17 kasus pelecehan seksual, 15 kasus perkosaan dan 9 kasus kekerasan seksual dalam pacaran.

Untuk wilayah Bengkulu, Cahaya Perempuan WCC mencatat 48 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, 11 diantaranya adalah kasus kekerasan seksual dengan 80% kasus terjadi pada usia anak.

Data layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (KSR) : korban kekerasan seksual yang mengakses layanan KSR organisasi anggota ASV kebanyakan yang mengalami persoalan KSR, diantaranya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), kerusakan pada organ reproduksi, terpapar Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV.

Data dari Cahaya Perempuan WCC mencatat ada 2 kasus kekerasan seksual berakhir pada terjadinya kehamilan tidak diinginkan.

3. Peraturan Perundangan saat ini belum bisa mengakomodir fakta kekerasan seksual di masyarakat.

Dalam KUHAP, pembuktian kasus kekerasan seksual diperlakukan sama dengan tindak pidana umum lainnya padahal kekerasan seksual yang umumnya menyasar kelompok rentan (perempuan dan anak) membutuhkan penanganan khusus.

KUHAP juga belum sepenuhnya mampu merespon fakta kekerasan seksual yang berkembang dimasyarakat seperti kasus pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. RUUPKS mengatur penghapusan segala bentuk kekerasan seksual tersebut harus dimulai dari pencegahan, penanganan kasus, pemidanaan dan penindakan terhadap pelaku, pemulihan dan perlindungan untuk korban, keluarga dan saksi.

4. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak hanya memidana pelaku kekerasan seksual namun juga memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban.

RUUPKS berupaya mengoreksi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan berlaku yang belum memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban, keluarga korban, dan saksi. RUUPKS mengatur bahwa pemulihan korban harus dilakukan secara multidisiplin, terkoordinasi dan berkelanjutan untuk memastikan Hak-hak atas perlindungan dan pemulihan bagi korban dijamin sejak proses pelaporan kasus, pemeriksaan, persidangan, hingga pasca persidangan.

Namun, pemulihan korban tidak hanya untuk mempersiapkan korban menghadapi proses hukum, tetapi pemulihan harus mencakup keseluruhan aspek kehidupan korban agar korban dapat kembali menikmati hidupnya secara bermartabat dan sejahtera.

5. Temuan ASV tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari negara sebagai tanggung jawabnya dalam memberi perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan, terutama kebijakan yang menyangkut kekerasan seksual, baik dalam hal pencegahan, perlindungan, maupun penanganan, untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan.

ASV mendesak agar:

1. DPRRI membatalkan pencabutan RUUP-KS dari prolegnas prioritas dan melakukan pembahasan RUU-PKS dengan mendengarkan masukan dari organisasi masyarakat sipil untuk menyegerakan pengesahan RUU-PKS;

2. DPR RI untuk melakukan jajak pendapat dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, ahli hukum dan pendamping korban kekerasan seksual untuk memastikan terakomodirnya kebutuhan korban kekerasan seksual;

3. Pemerintah untuk mendukung pembahasan RUU-PKS dengan mendesak DPR RI untuk memprioritaskan pembahasan RUU-PKS; ASV mengajak agar:

Masyarakat sipil mengawal dan memastikan pembahasan RUU-PKS di Prolegnas sebagai wujud partisipasi aktif warga dalam pemerintahan. Red

Rekomendasi
Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

You cannot copy content of this page