Quo Vadis Politik Indonesia : Berdemokrasi Dengan Hati Nurani dan Akal Sehat

Oleh

Aldora Reginald Natha

(Ketua HMI Komisariat Hukum Cabang Bengkulu)

Haruki Ahmad mengemukakan “jika engkau hanya membaca buku yang orang lain baca, kau hanya akan berpikir sebagaimana orang lain pikir”. Demikian kiranya realitas mayoritas manusia Indonesia. Manusia konsumtif, tidak hanya dalam hal style, mode berpakaian atau istilah kerennya pop culture, tetapi juga pada pemikiran. Sebagaimana manusia Indonesia, hal ini benar terjadi. Sekolah formal hanya banyak mengajarkan teori, rumus, dan hapalan.
Sejak dini, kita tidak dibiasakan untuk bersifat ilmiah. Kita tidak diberi kebebasan untuk melakukan hal-hal yang imajinatif dan kreatif guna membuat pengetahuan baru. Ibarat bayi makan bubur, yang hanya disuap dan disuap. Senada dengan yang dikatakan Irham Thoriq disalah satu esainya bahwa masyarakat kita sebenarnya tidak malas membaca. Hanya saja, bahan bacaan yang tidak ada. Mau beli, tak ada uang.

Pelajar di sekolah pun tidak diajari bagaimana mencintai buku, bagaimana mencintai pengetahuan. Semua serba hapalan. Hal ini pula yang mungkin membuat mereka, ketika dewasa jauh dari buku. Entahlah. Lalu apa hubungannya dengan tulisan yang akan saya buat di hari ini ? sebelum jauh menyelam sambil melihat suasana yang ada, alangkah baiknya untuk sedikit kembali kita mengetahui tentang politik itu sendiri.

Quo Vadis Politik merupakan sebuah pertanyaan alur berpikir ontologis yang mempunyai arti “kemana arah Politik atau kekuasaan pada hari ini”. Benar bahwa istilah politik pertama kali bermula di Yunani. Ketika sekian banyak orang ingin hidup tentram dan damai, pada akhirnya mereka menggabungkan diri di sebuah bukit untuk mendapatkan perlindungan. Bukit inilah yang disebut sebagai kota (polis) yang luasnya tidak seberapa luas dengan negara modern saat ini. (Miriam Budiarjo, 2008:17)

Mengulas kembali romantisme sejarah tanggal 06-06-1960 yang dimana hari itu adalah ulang tahun ke-59 Bung Karno. Presiden baru tiba dari luar negeri dua hari sebelum hari spesial itu. Karena Menurut UUD 1945 Presiden merupakan Kepala Pemerintahan, maka yang memangku jabatan sebagai Kepala Pemerintahan ditunjuk Ir. Juanda. Bukan lagi Sartono, yang sedang duduk dengan santai sambil membaca koran di ruang tengah kediamannya di jalan Imam Bonjol 38. Sesekali ia menengadah ke atas memikirkan sesuatu. Tiba-tiba terenyak dari tempat duduknya dan memanggil keponakannya yang bernama Sajarwo. Pemuda yang berusia sekitar 20 tahun itu sudah tinggal beberapa bersama keluarga Sartono. Setelah Sarjawo datang, Sartono memintainya duduk di depan mesin tulis. Ia lalu mendiktekan suatu surat yang ditujukan kepada “Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia”. Surat tersebut berisi pernyataan “tidak bersedia diangkat sebagai anggota DPR-GR (Gotong Royong)”. Selesai mengetik, Sajarwo menyerahkan surat tersebut dan meninggalkan Sartono yang sedang sibuk menelpon kesana kemari.
Esok Harinya, jarum jam berdenting masih menunjukan sekitar pukul enam pagi. Sajarwo dipanggil lagi. Ia diminta mempersiapkan kendaraan. Sewaktu sartono masuk ke dalam mobil, Sajarwo baru tahu kemana pamannya ingin diantarkan, yaitu ke Istana Merdeka. Jalan masing lengang, dan waktu sampai di pos penjagaan istana, mobil mereka langsung dipersilahkan masuk. Sartono bergegas turun langsung menuju ruangan, tempat Bung Karno sering menerima tamu sambil makan pagi. (Harian Bintang Timur, 8 Juni 1960).
Keesokan harinya, beberapa surat kabar di ibu kota memberitakan pengunduran dirinya dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut versi resmi sebagaimana yang tercantum dalam surat pengunduran diri, sartono beralasan “bahwa ia sudah terlalu lama memimpin DPR ditambah dengan usianya yang makin menua” alasan tersebut di atas bertentangan dengan pernyataan Sartono di saat selesai memimpin sidang terakhir DPR hasil pemilu yang telah dibubarkan oleh Presiden. “ Sulit bagi saya untuk menjadi wakil rakyat suatu DPR, tapi karena diangkat”. Perkataan yang diucapkan Sartono pada 17 Maret 1960 tersebut merupakan ucapannya yang terakhir sebagai anggota DPR, suatu lembaga yang sangat ia cintai. Ia sebetulnya dapat tetap bertahan sebagai ketua DPR-GR karena secara resmi ia merupakan salah satu orang yang diangkat sebagai anggota DPR-GR. Namun, apa boleh buat hari nuraninya menolak suatu bentuk DPR yang bukan di pilih oleh rakyat. (Mr. Sartono, 2014:241)
Sepuluh tahun ia menjabat ketua parlemen (DPR). Sejak masa PDR RIS, DPR negara kesatuan dan DPR hasil pemilu. Beberapa kalangan menilai Sartono telah melakukan tugasnya dengan baik selama ini. Ia dikenal sebagai pemimpin yang adil dalam memimpin sidang. Namun, bukan berarti tidak ada kritik terhadap dirinya. Salah satu kritik yang sering muncul adalah pembawaannya yang terkadang dinilai terlalu priayi. Ia jarang bisa membaur dengan massa seperti apa yang dilakukan oleh Bung Karno. Bahkan, dengan putranya sendiri ia jarang menampakkan keakraban. Sri mulyati menceritakan bahwa kalau berbicara dengan ayahnya, anak kedua Sartono tersebut tidak pernah berani memandang mata sang ayah. Namun, sebetulnya hal yang demikian itu hal yang lazim di kalangan priayi tinggi pada masa itu. Budaya “Feodal” yang masih kental membawa para priayi bersikap demikian. Kritik yang pedas dilontarkan oleh Mochtar Lubis sebagai rakyat kepada beberapa “Priyai Jawa” tersebut dalam bukunya, Indonesia Dimata Dunia.
Buku ini berisi pengamatan Mochtar terhadap perilaku rombongan perjalanan delegasi Indonesia ke Eropa dan Amerika. Ia mengkritik perilaku sunario, Sartono, Supomo, dan Murdowo. Sartono di kritik karena kesenangannya difoto dan merasa sebagai orang penting. Arah kritik tampaknya ditujukan pada sifat “Feodal” Sartono. Mochtar membuat kritiknya dengan kalimat “saya harap Raden Mas Sartono akan suka ketawa membaca cerita tentang dirinya ini dan dapat kiranya melihat kelucuan sikap yang diperlihatkannya di tempat-tempat yang dikunjunginya ketika ia melawat ke luar negeri sebagai ketua parlemen…. Kemana Sartono pergi harus ada tukang potret untuk memotret dirinya…. dimana-mana dia tiba, maka dimintanya supaya tiap-tiap duta besar RI di negara tersebut mengusahakan agar ia diterima sebagai tamu agung negara yang dikunjunginya. (Mochtar Lubis, 1960:24)

Narasi-narasi di atas semga akan menjadi refleksi para pembaca terkhususnya Gladiator dan Spectator Politik di Indonesia. Yang mana bisa kita perbandingan dinamika pribadi para gladiator-gladiator politik masa itu dan masa kini. Mengutip kata-kata Chairil Anwar “.. Kami Cuma tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanmu, kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan, ataukah jiwa kami untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa. (Kutipan Chairil Anwar).

Rekomendasi
Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

You cannot copy content of this page