Puisi Tidak Seharusnya Bisu: Selamat Ulang Tahun Wiji Thukul

Wiji Thukul/Barisan Pengingat

apa yang berharga dari puisiku

kalau adikku tak berangkat sekolah

karena belum membayar SPP

kalau becak bapakku tiba-tiba rusak

jika nasi harus dibeli dengan uang

jika kami harus makan

dan jika yang dimakan tidak ada?

(Wiji Thukul – Apa yang Berharga dari Puisiku)

Mereka bilang kata-katanya seperti pedang. Sehingga ia termasuk orang yang harus dilenyapkan demi keamanan dan stabilitas. Mereka bilang orang ini berbahaya.

Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo dengan nama asli Wiji Widodo. Anak dari seorang tukang becak katolik, pokoknya biasa-biasa saja latar belakangnya (karena kemiskinan sudah jadi sesuatu yang biasa). Sejak di bangku Sekolah Dasar beliau sudah tertarik menulis sajak, dan ketika SMP mulai merambah dunia teater. Teater yang beliau ikuti bernama Teater Jagat (singkatan dari Jagalan Tengah). Kelompok teater ini sering melakukan “pertunjukkan jalanan”, dengan mengamen berkeliling berbagai daerah di Solo, bahkan sampai ke kota-kota lain. Pada periode inilah beliau mulai mengamenkan puisi-puisinya.

Sepertinya tertarik pada seni, setelah lulus SMP tahun 1979, beliau memilih melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Karawitan jurusan tari. Tapi ketika kelas dua, kesulitan ekonomi memaksanya meninggalkan bangku sekolah. beliau pun merambah berbagai macam pekerjaan, mulai dari calo karcis bioskop yang tinggi rendahnya penghasilan bergantung pada Rhoma Irama, berjualan koran, dan disangka orang gila karena mengamen puisi secara solo. Sampai akhirnya seorang kawan mengajak beliau bekerja sebagai tukang pelitur mebel. Sementara puisi-puisi beliau mulai mengalir dengan gaya bahasa curhat, dengan sedikit bunga, yang hadir mendandani kesusahan pada kata-kata yang tertulis.

Sebagai seorang yang menyukai puisi, beliau pun mulai mendekatkan diri pada puisi secara teoritis, yang waktu itu beliau anggap sebagai kiblatnya adalah majalah Horison, yang dibidani para pemenang “pertarungan” sastra, yaitu kelompok Manikebu, yang menggantikan para sastrawan Lekra yang habis dilibas di awal Orde Baru. Wiji pun tidak ingin ketinggalan, dia pun mulai mengadopsi gaya Horison, dengan kata-kata aneh, yang dalam benaknya merupakan syarat sebuah puisi agar dinilai sebagai puisi yang bagus. Beliau banyak membuat pertunjukkan puisi kecil di depan kawan-kawannya sesama tukang pelitur, dan mereka tampaknya terhibur dengan puisi-puisi Wiji yang baru ini. Terhibur. Namun ternyata Wiji menyadari bahwa mereka hanya terhibur oleh sulap kata-kata. Kata-kata yang asing menjadi bahan tawa yang hanya cukup mengalihkan pikiran yang lelah. Ketika diajak berdiskusi tentang puisinya, mereka sama sekali tidak mengerti akan konten yang beliau deklamasikan. Kata-kata abstrak itu terlalu dalam untuk direnangi para buruh pelitur yang bahkan sudah kesulitan untuk bergerak di kedangkalan, beberapa sendok nasi untuk keluarga dirumah. Puisinya bisu.

Beranjak dari situ Wiji Thukul kembali ke penulisan puisi yang terdahulu, bercerita tentang dirinya dan lingkungan homogennya; tentang kemiskinan, ketidak-adilan, ketidak-berdayaan, dan mimpi-mimpi untuk hidup lebih baik suatu hari nanti.

Pak Bejo membentak istrinya:

-hari ini sepi!

Mbok bejo tak mau kalah:

-anak-anak minta baju seragam!

Pak Bejo juga:

-aku sudah keliling kota

aku sudah kerja keras

tapi kalah dengan bis kota

hari ini aku cuma dapat uang setoran

Mbok Bejo tak mau mendengar

Mbok Bejo tetap marah

Mbok Bejo tetap ngomel

Pak bejo kesal

Nyaut sarung kabur ke warung

Nenggak Ciu-bekonang

(Wiji Thukul – Balada Pak Bejo)

Wiji lalu menikah dengan Mbak Sipon, seorang buruh pabrik Moto, anak seorang tukang barang bekas. Sambil membuka usaha jahit (yang beliau bilang paling murah di kampungnya), puisi-puisi beliau mulai mendapat tempat di masayarakat yang lebih luas. Semenjak kumpulan Puisi Pelo dan Darman dan lain-lain. diterbitkan oleh Taman Budaya Solo, para aktivis mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat mulai terbakar oleh puisi-puisi Wiji Thukul. Mereka kini punya rumusan kata-kata untuk diteriakkan di hadapan para petugas bersenjata yang akan balas berteriak “subversif!”.

Bersama anak-anak kampung beliau menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis untuk anak-anak. Dia pun pernah menjadi fasilitator workshop teater untuk buruh-buruh perkebunan di Sukabumi, buruh di Bandung, Jakarta dan di kampung-kampung. Tahun 1988 beliau pernah menjadi wartawan media Masa Kini, meski cuma tiga bulan. Puisi-puisi beliau diterbitkan dalam media cetak dalam dan luar negeri: Suara Pembaruan, Bernas, Suara Merdeka, Surabaya Post, Merdeka, Inside Indonesia (Australia), Tanah Air (Belanda), dan juga di penerbitan-penerbitan mahasiswa seperti Politika (UNAS), Imbas (UKSW), Pijar (UGM), Keadilan (UII), begitu pun berbagai buletin LSM. meski begitu, lebih banyak lagi karya-karya beliau yang diterbitkan sendiri ataupun oleh kawan dan para pengagum dalam bentuk stensil fotokopian.

Beliau lalu aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), jaringan pekerja seni budaya yang memiliki agenda membentuk jaringan kebudayaan terkecil pada sanggar seni di basis buruh dan petani di kampung-kampung yang belum terjamah oleh dewan-dewan kebudayaan yang menjadi elitis di kota besar sehingga tak menjamah kebutuhan kekaryaan pekerja seni lapisan bawah bersama Moelyono, Semsar Siahaan, Raharjo Waluyo Djati, Hilmar Farid,Linda Christanty dan masih banyak lagi aktivis lainnya. Gerakan ini merupakan anak organisasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai oposisi rezim Orde Baru.

Puisi-puisi menyeret Wiji Thukul ke makin masuk ke pergerakan. Pada 1992 beliau ikut menyusun demonstrasi warga memprotes pencemaran lingkungan kampungnya oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo, dimana gebukan polisi pertama dialaminya. 1995, saat ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex, beliau nyaris kehilangan penglihatan mata kanannya akibat dibenturkan ke mobil oleh aparat kepolisian. Padahal belum genap setahun sebelumnya ia dipukuli aparat saat aksi petani terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Wiji Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.

Kami rumput

Butuh tanah

Dengar!

Ayo gabung ke kami

Biar jadi mimpi buruk presiden!

(Wiji Thukul – Nyanyian Akar Rumput)

Kerusuhan 27 Juli 1996 menghancurkan pergerakan, PRD dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan oleh pemerintah. Periode itu, hingga 1998, menjadi periode kelam bagi PRD khususnya, dan pergerakan anti-Orde Baru pada umumnya. Banyak aktivis dipenjara maupun dihilangkan paksa. Yang masih belum tertangkap atau hilang berusaha menyembunyikan berkas dan objek apapun yang mengkaitkan mereka dengan pergerakan. 10 Agustus 1996, Budiman Sudjatmiko dan pengurus lain ditangkap dan ditahan. Kepemimpinan partai diambil alih sebuah komite tertutup. Taktik perjuangan berubah menjadi bawah tanah, sementara siluman-siluman memburu, berlomba membawa para aktivis menuju dunia lain, dimana tidak ada yang harus dilawan dan digulingkan. Sejak saat itu Wiji Thukul terus bersembunyi.

Komunikasi beliau dengan rekan-rekan aktivis dilakukan via internet. Pada awal 1997 puisi-puisi beliau beredar di internet, dimana yang tertangkap dari puisinya adalah kesan murung dan kontemplatif, meski masih bernada protes sosial. Situasi pelarian dan rasa terasing terlihat dalam sajaknya yang bertutur soal-soal sepele, seperti berebut ikan dengan seekor kucing atau membeli pakaian loak. Belakangan diketahui Wiji Thukul tinggal selama setengah tahun di Kalimantan selama periode ini sebelum beliau kembali ke Jakarta dan mulai menggalang lagi koordinasi dengan rekan aktivis yang tersisa.

Kalau kelak anak-anak

Bertanya mengapa

Dan aku jarang pulang

Katakan

Ayahmu tak ingin jadi pahlawan

Tapi dipaksa menjadi penjahat

Oleh penguasa

Yang sewenang-wenang

Kalau mereka bertanya

“Apa yang dicari?”

jawab dan katakan

dia pergi

untuk merampok haknya

yang dirampas dan dicuri

(Wiji Thukul – Catatan)

Namun ketika November itu pula beliau memohon ijin kepada rekan-rekan aktivis untuk pulang kampung. Salah satu yang terakhir ditemuinya adalah Jaap Erkelens. 25-27 Desember 1997 Wiji Thukul masih bertemu dengan Istinya bersama kedua anaknya di Kaliurang, Yogyakarta. Istrinya sempat beliau antar ke Stasiun Tugu untuk kembali ke Solo. Saat itu beliau hanya bicara: “Wis kono gek bali lan ati-ati karo anakmu” (sudah kamu cepat pulang dan hati-hati dengan anakmu). Pada Februari 1998 beliau masih bertemu dengan seorang seniman di kota Magelang. 19 Februari 1998 menghubungi keluarga melalui telepon. Ini adalah komunikasi terakhir keluarga dengan beliau. Sekitar Maret – April 1998 beliau masih bertemu dengan Staf Komunitas Utan Kayu di Kantor ISAI Jakarta juga sempat makan bakso bersama-sama disekitar by-pass, jalan Pemuda Jakarta. Sejak itu keberadaan Wiji Thukul sudah tidak pernah terlacak lagi. Hilang, bersama pedang kata-kata yang dulu terhunus.

Dengan segala pencapaian dan perjuangannya, Wiji Thukul layak mendapat tempat di ingatan umum masyarakat Indonesia. Saya dengan tulisan ini berusaha menceritakan ulang hasil apresiasi saya terhadap perjuangan dan karya-karya beliau. Mungkin Wiji Thukul tak punya warisan harta untuk anak istrinya yang tetap susah, tapi dia punya warisan yang sangat berharga yang harus kita ingat, kepalsuan hanya akan mendatangkan kebisuan. Untuk bisa berbicara, kejujuran harus ditegakkan.

Selamat ulang tahun pak, semoga semua harapan anda tercapai.

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

(Wiji Thukul – Peringatan)

[Oleh: Indra Pratama/Sumber: Komunitasaleut.com]

Rekomendasi
Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

You cannot copy content of this page