Derai Tangis Murid SDN 62 di Bawah Keegoisan Pemkot dan Ahli Waris

BENGKULU – Sekolah Dasar Negeri 62 Kota Bengkulu dalam beberapa tahun terakhir terkenal seantero nusantara. Bukan karena prestasinya, bukan pula karena ada muridnya yang berselingkuh dengan guru atau ucapan rasis berlabel agama, tapi soal berkali-kali harus belajar di jalan lantaran dicegah pemilik lahan untuk masuk.

Miris? tidak. Lebih tepatnya memalukan. Sejak 2013 polemik antara ahli waris Ny. Atiyah (Alm) yang mengaku sebagai pemilik lahan SDN 62 dan pemerintah kota tak kunjung selesai. Siapa yang jadi korban, jelas saja para murid yang tak tahu soal apa yang diributkan.

Pemerintah kota bukan tak punya usaha. Sedari kasus ini mencuat, pemkot telah menahan gempuran ahli waris untuk merebut lahan atau setidaknya meminta ganti rugi pada pemerintah, melalui jalur hukum. Sayang, hingga ke tingkat kasasi (MA), hukum memutuskan menolak dan menetapkan ahli waris sebagai pemilik lahan yang sah.

Alhasil, pemkot dituntut untuk membayar ganti rugi miliaran rupiah. Ahli waris yang serasa diatas angin menunggu dana segar yang harus dikucurkan pemerintah kota. Namun, gepokan uang yang dinanti sepertinya belum dapat diterima dalam waktu dekat. Habis kesabaran, ahli waris kembali menyegel sekolah.

Untuk menjaga marwah sebagai “Kota Pelajar”, pemerintah tidak membiarkan generasi penerusnya kembali belajar di jalanan umum. Pemkot melalui dinas pendidikan memindahkan para murid untuk belajar di sekolah lain. Bahkan untuk rencana ke depan pemkot telah mencari lahan hibah agar bisa membangun sekolah baru.

Persoalan lain muncul. Murid SD yang terletak di Kelurahan Sawah lebar Kecamatan Ratu agung Kota Bengkulu ini kabarnya tidak mau pindah. Alasannya sudah nyaman di tempat lama, diperlakukan tidak baik oleh teman-teman baru sampai kelit transportasi menuju sekolah pindahan sementara sangat jauh. Kondisi ini ditunjukkan dengan aksi demo di halaman Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bengkulu.

Tak Punya Dana Ganti Rugi

Wali Kota Bengkulu, Helmi Hasan meradang. Ia dipaksa mengakui jika Kota Bengkulu tidak memiliki rupiah untuk membayar ganti rugi lantaran APBD kota habis untuk bangun Rumah Sakit Harapan Doa dan infrastruktur jalan di dalam kota. ‘Walaupun sebelumnya pemkot menghibahkan dana sebesar Rp 5 miliar ke Polda Bengkulu untuk pembelian lahan perluasan Mapolda’. Belum lagi Pemkot membeli mobnas bermerk Alpard dan mobil lainnya. Tentu ini mengelitik dan menyisahkan tanya.

Alasan lain, Helmi menilai angka ganti rugi Rp. 3,4 miliar yang ditetapkan tim appraisal terlalu tinggi, walaupun angka ini telah berkurang dari tuntutan ahli waris sebelumnya yakni Rp. 5 miliar. Berkenaan dengan itu pemkot menawarkan Rp. 1 miliar terlebih dahulu untuk dibayarkan di tahun 2019. Namun, tawaran ini ditolak keras oleh ahli waris.

Melihat polemik yang muncul sejak Helmi terpilih di periode pertama ini tak kunjung tuntas, Pemerintah Provinsi Bengkulu mencoba menawarkan bantuan ganti rugi lahan senilai Rp. 1,4 miliar. Jika ditambah dengan tawaran pemkot, artinya sisa ganti rugi yang harus dicicil tinggal Rp. 1 miliar. Sayangnya, Helmi menolak, sambil tersenyum-senyum saat ditanya wartawan kenapa menolak. Helmi bahkan menantang niatan pemrov untuk membantu dengan meminta pelunasan total. Pemprov akhirnya menarik diri.

Keributan antara ahli waris dan pemkot hingga kini hanya mempertontonkan keegoisan. Pemkot yang kekeuh tak ingin langsung membayar lunas, sedangkan ahli waris ngotot untuk langsung menerima uang ganti rugi secara total. Jika tidak diindahkan, murid SDN 62 akan dibiarkan belajar di jalanan dengan menutup akses masuk ke sekolah. Sementara sekolah baru yang dijanjikan pemkot, entah kapan terbangun.

Tudingan Eksploitasi Anak

Terakhir, keduanya mempertontonkan tudingan memanfaatkan murid SD untuk kepentingan tertentu. Sebagian bahkan mengaitkan hal ini dengan politik. Tudingan memanfaatkan anak ini diwujud nyatakan pemkot melalui aduan ke Komnas Perlindungan Anak Indonesia. Pemkot menilai ada oknum yang sengaja mengeksploitasi anak untuk mendesak pemkot mempercepat pembayaran ganti rugi.

Di hadapan Komnas Perlindungan Anak, tim hukum Pemerintah Kota Bengkulu menyampaikan bahwa pemkot berkomitment supaya proses belajar mengajar tetap berjalan walaupun sekolah disegel oleh ahli waris. Namun komitmen pemkot ini tampaknya paradoks dengan kenyataan bahwa murid SD 62 saat ini justru mendapatkan pelajaran dari relawan, bukan dari guru SD yang dinaungi oleh pemkot.

Seharusnya, jika komitmen pendidikan itu memang ada, persoalan belajar mengajar anak merupakan tanggung jawab pemerintah kota, bukan sekedar untuk menunjukkan bahwa pemerintah tidak tunduk pada pemerasan dalam bentuk apapun. Jika pun iya, ada oknum yang menghambat proses belajar mengajar, tetap tidak harus murid SDN 62 dilepas untuk tak mengikuti pendidikan selama proses tudingan itu berlangsung.

Kedua pihak mestinya sedikit mengurangi keras hati, atau setidaknya menerawang agar konflik berakhir tanpa korban. Membiarkan murid belajar dikelas dengan lahan hibah atau membayar tuntutan ganti rugi lahan. Sebab, terlepas tudigan miring pada pemkot maupun ahli waris, ada anak yang menghabiskan masa kecilnya hingga lulus sekolah dasar dengan cerita masa lalau tentang konflik antara pemerintah kota dan pemilik lahan SD.

Penulis: Alwin Feraro

Rekomendasi
Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

You cannot copy content of this page