Kacamata Jelata Memaknai Idul Adha Dalam Kontek Pilkada Bengkulu

Konstelasi Politik Pilkada Bengkulu bergerak makin kencang. Pertarungan antar kandidat dan timses pun makin menjadi-jadi seiring semakin dekatnya waktu pencoblosan.

Bagi Kandidat Hal ini tentu lumrah dan wajar-wajar saja, sebagai satu bentuk pengorbanan untuk meraih nilai dan harga yang disebut kemenangan berwujud sebuah kursi kekuasaan. Coba saja kita tilik teori Nilai dan Harga.

Sebagai Jelata Saya dan banyak orang di seluruh nusantara terjebak pada euforia Kebodohan massal, seolah sudah menjadi pelaku politik, merasa politisi senior, seolah punya andil, seolah punya power, sibuk sendiri, merasa punya hubungan emosional dengan para kandidat.

Saya hanya ingin mengingatkan diri saya dan para pembaca (red bila sudi) sebuah teori lawas tentang Politik Menurut Gangsar Wahyudi yang disadur dari Buku The History of Arab karya PK. Hitti menuliskan, Politik itu ada tujuan, tehnis disembunyikan. Jadi sebagai jelata mari kita sama-sama tersentak untuk sama-sama menarik diri dari perasaan kita yang seolah-olah sudah menjadi pakar politik tingkat Dewa.

Mereka adalah politisi, kita hanyalah jelata, jelata adalah victim, jelata adalah korban gilasan derasnya roda politik, jelata bukan tak boleh berpolitik tapi mesti paham betul kapasitas, kualitas dan kwantitas diri kita masing-masing, boleh kita berpolitik asalkan tetap merujuk pada teori PK. Hitti tadi.

Jangan sampai dua gajah bertarung, kita mati terinjak, janganlah pula kita menjadi alat transaksi para kandidat guna mencapai tujuan mereka, kita harus paham betul, jelata tidak pernah tahu tentang tehnis politik yang mereka praktikan, yang kita tahu mereka punya tujuan meraih BD 1, sebagai Jelata, daya kita hanya menitipkan sebuah harapan agar Provinsi kita lebih baik.

Kita hanya bisa menitpkan asah kepada yang mulia Para kandidat raja, Tolong bila anda terpilih, Jangan Perkosa rakyat dengan pungli, jangan curi hak-hak dasar kami, bila rakyat sakit tolong disuntik. Jelata cuman ingin jangan diganggu, dengan Pergub ini dan Pergub itu, Perda ini dan Perda itu, yang seolah berpihak kepada jelata padahal sejatinya adalah alat bagi kalian untuk menggagahi kami lagi, seperti kelakuan para baron sebelumnya.

Kasihanilah kami jelata yang hampir mati, lihat lah jelata, yang tiap hari dihisap darahnya, direbus jantungnya, menanggis, merontoh mengeluarkan air mata darah.

Janganlah pula kita menjadi lantai dansa para kandidat. Kita seperti ABG alay yang tengah menonton konser musik, betul kita dekat dengan panggung konser, kita ada di sekitar panggung konser, tapi sejatinya kita tidak pernah ada di panggung, kita tetap tukang sorak yang sekekali disiram air karena kepanasan, kelelahan berjoged, mereka para kandidatlah yang mengatur irama, hentakan dan arah goyangan.

Bila dianalogikan panggung politik adalah sebuah sungai yang besar jelata tak lebih seekor capung, yang numpang mandi. Capung cuma datang dan sedikit menyelam, sejatinya airnya sedikit sekali bahkan tak ada yang menempel dibadannya.

Kami para jelata tidak mau hak-hak demokrasi kami dijadikan “qurban” demi kepentingan pragmatis, oportunitis dan koruptif belaka, Jelata relah meng’Qurbankan hak pilihnya untuk memilih sesosok pemimpin revolusioner demi sebuah perubahan.

Selamat Idul Adha, jelata tak mau disembelih oleh kandidat sebagai tiket mereka ke sebuah kursi kekuasaan, mari kampanye cerdas, kampanye santun, #SalamRelawanMuda RM, demi secercah harapan Bengkulu Lebih baik. (Gus Fe)

Rekomendasi
Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

You cannot copy content of this page