Jelang Putusan RM, Jangan Ada Sindrom KPK

Oleh: Riki Susanto

Perkara dugaan korupsi terhadap Gubernur Bengkulu non aktif Ridwan Mukti yang akrap disapa RM, akan menemui babak final. Menurut jadwal persidangan, hakim akan memutus perkara tanggal 11 Janari 2018. Apakah RM tidak bersalah atau sebaliknya.

Akhir-akhir ini, objektifitas hakim sebagai prinsip dasar pemutusan perkara selalu meninggalkan ruang kritik.

Banyak perkara tipikor terutama yang bersumber dari KPK diputus hakim secara saklak dan terkesan cari selamat. Hakim seolah-olah dipaksa mengabaikan nilai objektifitas ketika dihadapkan dengan terdakwa KPK, sehingga wajar kalau ada asumsi, bunyi dakwaan jaksa KPK sama dengan 3 ketukan bunyi palu sidang sebagai tanda peradilan telah usai.

Objektifitas adalah nilai dasar yang wajib dimiliki hakim dalam memutus perkara. Ahli hukum ternama Belanda Trapman, memberi predikat untuk hakim “Een objectieve beoordeling van een objectieve positie” (sebuah penilaian objektif dari sebuah posisi objektif). Betapa posisi hakim harus selalu objektif total, baik prosedural maupun materil, karena objektifitas hakim adalah pesan keadilan bagi terdakwah dan cita-cita hukum bagi negara. Sekali hakim mengabaikan objektifitas maka akan memangkas nilai keadilan terdakwah sekaligus merusak tatanan kehidupan berbangsa.

Sejauh ini, hanya 2 hakim yang memutus bebas terdakwa KPK. Hakim Rinaldi Triandiko, PN Pekanbaru dalam perkara dugaan suap pembahasan APBD Riau TA. 2011 yang mendudukan Suparman, anggota DPRD Riau selaku terdakwah KPK dan Hakim Asharyadi memutus bebas terdakwah KPK, Muchtar Muhammad yang pada saat itu menjabat sebagai Walikota Bekasi.

Lantas, apakah kedua hakim itu melakukan pelanggaran etik dan hukum. Tentu tidak, memutus bebas bukanlah pelanggaran sidang tapi amanat konstitusi. Jangan sampai terlintas dikepala hakim ketika yang duduk dihadapanya terdakwah KPK maka wajib dinyatakan bersalah. Itu sebaliknya, adalah pelanggaran karena sekali hakim menyimpan sindrom KPK di kepalanya sama saja dengan hakim berdiri di samping keadilan.

Demikian juga dengan terdakwah RM, Gubernur Bengkulu non aktif yang duduk dalam persidangan selaku terdakwah KPK. Hakim harus membebaskan terdakwah RM dari sindrom subjektifas, karena ia terdakwa KPK. Membebaskan RM dari segalah tuntutkan KPK bukanlah sesuatu yang tabu. Kalau fakta persidangan mengehendaki RM dibebaskan dari segalah tuntutan maka hakim wajib melakukan itu.

*Direktur Advokasi LSM Gerakan Entitas Masyarakat Advokasi (GEMA)

Rekomendasi
Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

You cannot copy content of this page